Minggu, 24 Januari 2010

Tugu Golong Gilig

Tugu Jogja yang nampak sederhana memiliki sejarah dan cerita yang panjang, tugu ini menjadi sejarah perjuangan panjang rakyat Jogja melawan penjajahan Belanda. Tak salah jika masyarakat Jogja begitu bangga memiliki bangunan ini dan menjadikannya maskot kota Jogja.

Tugu ini didirikan setahun setelah keraton Jogjakarta berdiri, atau sekitar tahun 1756. Pada mulanya Tugu Jogja tidak berbentuk seperti yang terlihat sekarang, namun berbentuk silinder (gilig) pada tiangnya dan puncaknya berbentuk bulat (golong), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig. Tinggi tugu tersebut awalnya mencapai 25 meter. Tugu Golong-Gilig mempunyai arti semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam hal ini raja keraton Jogja dalam melawan penjajahan Belanda. Dalam bahasa jawa disebut Manunggaling Kawulo Gusti, yang berarti bersatunya rakyat dan penguasa.

Namun gempa dahsyat pada 10 Juni 1867 atau 4 Sapar Tahun EHE 1284 H atau 1796 Tahun Jawa sekitar pukul 05.00 pagi, tugu itu rusak terpotong sekitar sepertiga bagian. Musibah itu bisa terbaca dalam candra sengkala – sebuah catatan kata yang bermakna angka tahun -- Obah Trusing Pitung Bumi (1796). meruntuhkan bangunan yang menjadi simbol persatuan rakyat dan penguasa tersebut. Tugu Golong-Gilig pun runtuh dan terbengkalai selama lebih dari 20 tahun.

Pada tahun 1889 pemerintah Belanda kembali merenovasi bangunan tugu. Renovasi ini dipimpin oleh Opzichter van Waterstaat/Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Lalu tugu baru itu diresmikan HB VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa. Namun kali ini ada yang berubah dari desain aslinya. Tugu tidak lagi berbentuk bulat, namun berbentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi bangunan itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan pun dipangkas menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter, sedangkan awalnya bangunan ini setinggi 25 meter. Dan oleh Belanda kemudian tugu ini dinamakan De Witt Paal (Tugu Pal Putih) atau yang sekarang lebih dikenal dengan Tugu Jogja. Perubahan bentuk tersebut merupakan taktik Belanda untuk mengikis semangat Manunggaling Kawulo Gusti. Namun bukannya terkikis, justru hal sebaliknya yang terjadi kemudian. Dan diketahui upaya Belanda tersebut tidak membuahkan hasil.

Asal tahu saja, Tugu itu ternyata juga menjadi salah satu poros imajiner pihak Kraton Yogyakarta. Jika ditarik garis lurus dari selatan ke utara, atau sebaliknya; maka akan ditemukan garis lurus ini: Laut Selatan (konon dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul, istri Sultan Raja-raja Mataram), Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi. Bahkan, Sultan sebagai penguasa Kraton Yogyakarta, jika duduk di singgasana di Siti Hinggil Kraton, ia bisa memandang Gunung Merapi di sisi utara. Ikatan magis antara Laut Kidul, Kraton, dan Gunung Merapi hingga saat ini dipercaya oleh Wong Yogya. Oleh sebab itu budaya larungan selalu dilaksanakan pada bulan Sura di Laut Selatan maupun Gunung Merapi oleh pihak Kraton.

Saking dikenal sebagai simbolnya kota Jogja, banyak orang yang bilang bahwa bila kita sedang berada di kota Jogja, itu belum sah bila belum memegang Tugu ini, belum berfoto-foto dengan tugu ini dan belum pernah berdiri di dekat Tugu. Walaupun hal tersebut tidak dilarang oleh pemerintah maupun pihak Kraton, namun alangkah baiknya bila kita tetap menjaga dan rawat dengan baik peninggalan sejarah nenek moyang kita yang dengan rela susah payah memperjuangkan kemerdekaan untuk kita ini.

3 komentar:

pupun mengatakan...

pernah kita bicarakan nih, Lig..
menarik..

aris_2510 mengatakan...

ijin share bro

Anonim mengatakan...

tugu yg sekarang ini buatan belanda kalo gitu? apa yg bisa dibanggakan, kalo milik kita sendiri rusak, terus yg memperbaiki/merawat malah orang lain, emang pelopornya kita yg buat tapi waktu rusak ngga ada yg urus? jadi bingung . . .